Jumat, 09 Maret 2012

Bencana Membawa Berkah






Lengkese adalah sebuah dusun yang terletak di bawah kaki gunung Bawakaraeng, untuk mencapai dusun tersebut kita membutuhkan waktu 1 jam dari kota Malino. 26 Maret 2004 dusun tersebut mengalami musibah dengan terjadinya peristiwa tanah tumbang dengan menewaskan 32 orang, dan diantara masyarakat yang meninggal dunia 15 orang tidak ditemukan jenazahnya sampai hari ini. Selain itu rumah, sekolah, perkebunan dan persawahan seluas 100 ha juga ikut tertimbun.
Namun musibah tersebut tidak menjadi penghalang bagi masyarakat Dusun Lengkese (Kampung lengkese, sebutan penduduk setempat) untuk bangkit kembali menata hidupnya di kampung yang mereka cintai. Meskipun ketika kejadian tersebut pemerintah mau merelokasi mereka ke tempat baru (Dusun Belaponranga), namun mereka tetap bertahan untuk hidup di tanah leluhurnya meskipun apa yang akan terjadi. Berdasarkan informasi dari salah Tokoh Masyarakat Lengkese Dg. Tawang (Imam Dusun) Lengkese sudah dihuni sejak 300 tahun yang lalu. Mereka mengandalkan dirinya dengan potensi sumberdaya alam yang mereka miliki serta nilai-nilai lokal yang mereka anut yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Kepala kampung (Dg. Tika) dan Imam Dusun (Dg. Tawang ) adalah dua orang tokoh yang berjuang meyakinkan orang luar yang mau memindahkan mereka. Bahwa mereka memiliki kekuatan untuk bertahan hidup. Mereka masih memiliki sawah, kebun kopi, ternak sapi, dan yang paling penting adalah mereka memiliki nilai-nilai budaya untuk saling membantu, seperti tesan (bagi hasil), saling meminjamkan beras, gotong royong. Mereka memiliki organisasi dalam mengelola air yang dipimpin oleh seorang tokoh yang dikenal “Pinati”. Air ini digunakan untuk pengairan di sawah. Mereka tidak membutuhkan bantuan materi dari pihak luar, mereka hanya membutuhkan dukungan untuk tetap bertahan hidup di kampung yang mereka sangat cintai.
Salah satu pihak yang selama ini menemani mereka untuk tetap bertahan hidup adalah Karang puang, sebuah LSM yang berada di Malino datang setiap saat mendampingi masyarakat Lengkese bersama-sama mengamati perkembangan longosoran tanah, serta memfasilitasi masyarakat menemukan solusi ketika mereka menghadapi suatu masalah, ungkap Dg. Tika ketika kami dari tim Sulawesi CD project melakukan praktek lapang pada pelatihan bagi Community Facilitator di Lengkese. Tim fasilitator komunitas dari Karangpuang seperti Mahatma Hafel dipanggil atho, Abd. Hakim dg. Bali dipanggil, Dg. Jarre, dan kawan-kawan yang lain senantiasa setia datang ke masyarakat untuk saling membagi, belajar bersama dan bekerja bersama untuk kelangsungan hidup masyarakat Lengkese.
Sebanyak 200 ha tanah mereka, yang terdiri dari sawah dan kebun telah tertimbun, tinggal 100 ha lebih yang tersisa. Itulah yang mereka olah kembali, dan 100 ha yang tertimbun dibagi secara bersama sesuai kesepakatan bersama, karena batas tanah sebelumnya sudah tidak jelas lagi, sehingga sistem pembagian diatur sendiri oleh masyarakat.
8 Tahun kemudian
Saat ini setelah delapan tahun berlalu peristiwa tanah tumbang itu terjadi, masyarakat Lengkese masih tetap hidup bersahaya menikmati dusun mereka seperti biasanya, bahkan Pak Imam Dusun (Dg. Tawang) memberi istilah Lengkese adalah bencana membawa berkah. Alasannya, karena sejak perisitwa tersebut terjadi, banyak sekali orang yang datang sehingga tidak bisa dihitung lagi berapa jumlahnya, mereka datang dengan berbagai tujuan, baik datang melihat perkembangan Lengkese setelah peristiwa bencana, maupun yang datang untuk memberi semangat dan belajar bersama masyarakat Lengkese menghadapi bencana jika suatu saat akan terjadi lagi, termasuk yang melakukan penelitian akademik. Mereka berasal dari kalangan pemerintah, LSM, dan perguruan tinggi, baik dalam negeri maupun di luar negeri.
Sampai saat ini Karangpuang masin terus datang membangun komunikasi dengan masyarakat, bersama mereka untuk mencari solusi dari masalah yang mereka hadapi. Beberapa tahun yang lalu peserta pelatihan dari FASID yang umumnya orang-orang Jepang juga datang belajar di tempat tersebut, Yayasan esensi dengan melakukan pelatihan Monitoring dan Evaluasi kerjasama TIFA Foundation dengan peserta dari staf NGO di Sulawesi Selatan tahun 2007.
Berbagai perubahan secara fisik telah terjadi di Kampung Lengkese, antara lain perbaikan jalan dusun sekitar 1,6 km serta bangunan pemantau bencana dan saluran air bersih. Oleh Departemen Pekerjaan Umum. Selain itu daerah longsoran di sepanjang Sungai jeneberang sudah menjadi hijau karena ditanami tanaman Lamtoro oleh masyarakat atas inisiatif mereka sendiri untuk kebutuhan pakan ternak mereka sekaligus berfungsi sebagai daerah penahan air dan daerah resapan air.
Masyarakat Dusun Lengkese menata hidup mereka dengan nilai-nilai lokal yang sangat kuat, mereka memiliki pengetahuan tentang tanda-tanda musim dengan membaca tanda-tanda alam, seperti tumbuhnya tumbuhan tertentu maka akan datang musim hujan, musim kemarau, akan ada angin besar dan lain-lain. Tetapi pesan leluhur yang paling kental tertanam di benak mereka adalah “ Jangan sekali-kali meninggalkan Kampung Lengkese, karena itu adalah identitasmu, jika engkau sudah tinggalkan maka engkau sudah kehilangan identitas”. Hal inilah yang membuat Dg. Tika ketua RW dan Dg. Tawang (Imam Dusun) untuk mengajak warga Lengkese untuk tetap bertahan di sana. Karena prinsipnya bencana itu kapan saja bisa datang, dan bisa saja tidak datang lagi. Karena kita juga tidak bisa prediksi. Sementara di kampung ini kita memiliki sawah, kebun kopi arabica, ternak sapi, yang selama ini sudah kita nikmati hasilnya untuk memberi kehidupan kepada kita. Allah Swt sebagai Tuhan kita memberi kenikmatan yang sangat luar biasa yang patut disyukuri.
Dari prinsip inilah Dg. Tika selaku tokoh masyarakat tidak pernah menghadiri undangan keluarga mereka di Kampung Belaponranga, dimana sebelumnya sudah berjanji tidak akan menginjakkan kakinya sampai kapanpun di kampung itu. Karena dia menolak ajakan Pemerintah untuk direlokasi.
Suatu sikap yang sangat berat, tetapi itulah konsekuensi yang harus dihadapi oleh Dg. Tawang yang harus tetap memegang kata-katanya sampai dia meninggal. Karena sejak awal dia berjanji tidak mau meninggalkan kampungnya yang sangat dia cintai sehingga dia mengeluarkan ikrar tersebut. Dia tidak membutuhkan bantuan dari luar kecuali bagaimana mengharapkan dukungan untuk mereka tetap bertahan.
Sikap Dg. Tika tersebut merupakan potret sikap masyarakat kita yang sangat menghormati pesan leluhur dan tetap memegang teguh nilai-nilai budaya yang menjadi identitasnya. Suatu pembelajaran yang sangat berharga selama satu hari di Kampung Lengkese, masyarakatnya yang ramah dan alamnya yang indah, seolah-seolah bayangan tentang kejadian 8 tahun silam tidak pernah terjadi. Sepertinya tidak ada lagi tanda-tanda kejadian maha dahsyat yang melululantahkan kampung itu. Masyarakatnya hidup seperti biasa, sehari-hari mereka ke kebun kopi, ke sawah dan setiap minggu ke kaki gunung Bawakaraeng untuk memberi makan (garam) ternaknya sekaligus memantau tanda-tanda jika ada pergeseran tanah.
Senyum ramah dari masyarakat Lengkese pertanda mereka sangat bahagia dan menikmati kehidupan yang sangat tenang di Kampung kelahiran yang memiliki nilai-nilai budaya yang kuat, sekaligus tanah yang menjanjikan bagi mereka untuk menghadapi hidup di masa yang akan datang bagi anak cucunya. (mrd)

Minggu, 01 Januari 2012

SEMUA ORANG ADALAH BINTANG

Seorang teman sekolah saya waktu sekolah dasar dulu di Soppeng, sebut saja namanya Firman. Ketika itu dia selalu tinggal kelas karena nilai rapornya banyak yang merah, bahkan dia selalu dijauhi oleh teman-teman kami karena di telinganya selalu ada cairan yang keluar dan berbau amis, sehingga dia tersingkir dari pergaulan teman sebayanya. Informasi terakhir tentang Firman baru saya ketahui dua tahun terakhir ini, ternyata dia tidak sempat menamatkan pendidikannya sampi level SMA. Tetapi apa yang terjadi, dia sekarang memiliki usaha pertukangan khususnya membuat dinding rumah panggung. Kualitas pekerjaannya banyak digemari oleh penduduk di kampung, Bahkan diluar kampung sendiri banyak memesan sama firman, Usaha Firman tersebut tergolong sukses di kampung.

Di Batang Ase Maros, tetangga mertua saya sebut saja namanya Fatma yang tidak lulus SMA, karena nilai UAN-nya tidak memenuhi persyaratan untuk lulus. Ternyata dibalik kelemahan kemampuan kognitifnya tersebut dia memiliki kemampuan psikomotorik yang luar biasa, yakni pintar menjahit baju. Sehingga umumnya tetangganya memesan aneka baju khususnya baju wanita, baik untuk kebutuhan pesta maupun pakaian kantor. Dan sekarang Fatma sangat kewalahan menerima orderan jahitan karena kualitas jahitannya sangat disukai oleh kaum ibu-ibu di Lingkungan Batang Ase.

Dua profil itu mewakili banyak Firman-Firman dan Fatma-Fatma yang lain, dimana kecerdasan yang dimiliki tidak terakomodir di sekolah formal, tetapi justru sukses menapaki kehidupan sosial di luar sekolah formal. Apa yang salah di pendidikan formal kita, bagaimana kurikulum nasional mengakomodir potensi kecerdasan setiap anak melalui peningkatan kemampuan kognitif, psikomotorik dan afektifnya secara konfrehensif.

Dalam Al-Quran Allah Swt. berfirman bahwa : “Sungguh kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (QS. Surah Attin (95): 4). Menurut Quraisy Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah bahwa maksud manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya adalah manusia terdiri dari dua hal yakni kesempurnaan fisik (bentuk tubuhnya yang lurus dan pas dengan fungsinya) dan psikis (memiliki akal dan pemahaman), sehingga hal inilah yang membedakan manusia dengan binatang.

Howard Gardner psikolog dari Univerisitas Harvard Amerika Serikat menemukan dalam teorinya yang sangat terkenal yakni kecerdasan majemuk (multiple Intelegence), kecerdasan majemuk tersebut terdiri dari 8 kecerdasan yakni; Kecerdasan Bahasa, logika matematika, spasial, musikal, kinestetis-tubuh, naturalis, interpersonal dan intrapersonal yang dimiliki oleh setiap orang. Beragam kecerdasan ini dimiliki oleh setiap anak sebagai bukti bahwa Allah Swt menciptakan manusia ke dunia ini memiliki kelebihan yang berbeda dan tidak mungkin sama.

Sedangkan Mimi Doe dan Marsha Walch penulis buku 10 Prinsip Spritual Parenting, Master Pendidikan Universitas Harvard mengatakan bahwa “ Jika Tuhan diyakini hadir di hati setiap orang, maka menghormati hati adalah juga menghormati Tuhan. Jika kita pertama dan terutama sekali mengakui dan menyadari diri kita sebagai makhluk spritual , kita akan membimbing anak-anak kita menjadi insan spritual yang menyadari makna kehidupan yang sesungguhnya”.

Ketika kebijakan nasional pendidikan yang membuat standar kelulusan lebih didominasi kemampuan kognitif dan hanya beberapa matapelajaran saja, rasanya menafikan kecerdasan majemuk anak tersebut. Mana mungkin setiap anak dipaksakan untuk seragam kemampuan kognitifnya sementara potensi kecerdasannya sungguh sangat berbeda satu sama lain.

Munif Chatib penulis buku “Sekolahnya Manusia “ dan “ Gurunya Manusia” yang juga konsultan pendidikan mengembangkan pendidikan di sekolah binaannya dengan melakukan MIR sebelumnya. MIR ( Multiple Intelegence Research-Penelitian kecerdasan majemuk) adalah salah satu metode untuk mengetahui jenis kecerdasan setiap siswa sehingga guru bisa memilih gaya mengajar ketika menghadapi siswa berdasarkan kecerdasan yang diidentifikasi. Untuk memudahkan guru menentukan gaya mengajar untuk menyesuaikan gaya belajar siswa maka setiap kelas disatukan atas dasar hasil MIR tadi yakni menyatukan siswa yang memiliki kecendrungan kecerdasan yang sama dengan tetap memperhatikan pagu maksimal tidak lebih dari 30 siswa.

Selain itu hasil penelitian ini menjadi dasar bagi guru untuk menyusun RPP (Rencana program pembelajaran) yang biasa disebut “lesson Plan” (Rencana Pembelajaran) di sekolah binaan Pak Munif. Itu hanya perbedaan istilah dengan kementerian pendidikan nasional, tetapi subtansinya tetap sama, yakni guide line guru untuk mengajar. Lesson plan disusun dengan mengacu pada hasil penelitian tentang kecendrungan kecerdasan yang akan diajar di kelas tertentu. Sehingga guru betul-betul memasuki dunia siswa, guru mengikuti gaya belajar siswa, sehingga siswa tidak merasa asing dengan perilaku gurunya.

  • · Sekolah bukan penjara

Sekolah dibangun sebagai wujud dari kewajiban negara untuk memberikan pengajaran kepada setiap warga negara tanpa pandang bulu, dengan harapan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanah UUD 1945. Guru direkruit oleh negara untuk mengajar anak bangsa menjadi anak yang cerdas dan berbudi pekerti yang luhur, para tenaga kependidikan direkruit untuk mensupport kebutuhan sekolah yang dibutuhkan dalam rangka memudahkan para tenaga pendidik melaksanakan tugas-tugasnya agar tujuan yang diharapkan bisa tercapai.

Sekolah dalam sejarahnya diawali dengan pendidikan di padepokan-padepokan Pendeta Hindu zaman dahulu kala ketika masih zaman kerajaan Majapahit dan kemudian diadopsi masuk di pendidikan pesantren. Ketika itu proses pendidikan di sekolah sifatnya masih dalam bentuk non formal. Tidak diatur seperti sekarang, tetapi sangat fleksibel. Tergantung kebijakan pengelola padepokannya atau pesantrennya. Namun dalam perkembangannya sekolah dikembangkan ketika zaman kolonial Belanda, dengan pendidikan yang sifatnya formal, kemudian sistemnya diatur oleh Pemerintah Belanda, dan sistem itulah yang diwariskan sampai sekarang.

Pada prinsipnya sekolah dibangun dengan harapan bisa menjawab kebutuhan para siswa untuk menuntut ilmu, tentunya berbasis pada potensi sumberdaya yang dimiliki. Bagaimana mereka dibantu untuk menemukan dirinya di sekolah melalui sebuah proses pendidikan yang berbasis pada potensi kecerdasan yang dimiliki. Dan sekolahnya itu sendiri diharapkan tidak jauh dari kehidupan dan lingkungan siswa sehari-hari. Sistem sosial budaya berjalan di sekolah buka hal yang jauh berbeda dengan lingkungan sehari-hari siswa. Sehingga antara lingkungan sosial dengan sekolah bukan sekat atau penjara.

Dalam beberapa peristiwa ditemukan, sekolah dalam hal ini unsur-unsur yang ada didalamnya dan yang berkaitan dengan itu melakukan praktek-praktek yang tidak menjawab kebutuhan anak untuk datang menuntut ilmu di sekolah. Mereka datang dengan harapan ada perubahan, mereka datang karena mereka memang tidak mampu menemukan sendiri kecerdasannya. Mereka datang ke sekolah karena mereka memiliki kekurangan. Dalam keterbatasan itu mereka berharap sekolah yang didatanginya dapat memenuhi kebutuhannya. Tetapi apa yang terjadi, siswa tidak pernah diidentifikasi apa harapannya datang di sekolah itu, tiba-tiba yang muncul peraturan sepihak yang dianggap aneh, salah satunya adalah memakai baju yang rapi dengan indikator kerapian memasukkan baju di celana, sedangkan realitas sosial ternyata banyak orang yang tidak memasukkan bajunya dan kelihatannya rapi juga, seperti baju batik, gamis dan piama. Kemudian muncul pembelajaran yang sangat asing dari kehidupannya, sehingga para siswa belajar sangat sulit beradaptasi. Misalnya pembelajaran matematika tentang integral dan defrensiasi atau turunan, siswa sangat sulit memahaminya karena tidak dipahami kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Untuk apa mempelajari integral itu, apa manfaatnya. Saya sendiri sampai hari ini tidak memahami manfaatnya. Sehingga dirasakan pembelajaran banyak yang asing atau biasa disebut melangit, padahal kita hidup di bumi. Meskpun jika dipahami tujuan dan manfaatnya sungguh sangat menarik.

Harapan para siswa umumnya agar di sekolah bisa diproses dari tidak bisa menjadi bisa, tentunya basisnya pada potensi kecerdasan yang mereka miliki. Namun ketika di sekolah, tiba-tiba diklasifikasi ada kelas unggulan, ada kelas RSBI (Rinstisan Sekolah Bertaraf Internasional) dimana siswa yang dianggap pintar disatukan dalam kelas tersebut kemudian mendapat perlakukan istimewa dari kelompok siswa yang dianggap bodoh. Parameternya semua pada unsur kognitif, sehingga keberadaan kelas istimewa seperti ini justru menafikan hak-hak setiap anak untuk mendapatkan pengajaran yang sama dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan.

Ketika kita masuk di sekolah masih biasa ditemukan sekolah yang belum memperlakukan siswanya secara adil, contoh pengaturan perabot yang masih berjajar dari depan ke belakang seperti yang diwariskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dulu. Siswa yang duduk di bagian belakang pasti kurang mendengar penjelasan-penjelasan gurunya, apalagi jika gurunya bersuara kecil. Ketika ditemukan ada guru melarang siswa bertanya atau menyanggah pendapat nya, maka sama saja guru tersebut mematikan potensi siswa dan memenjarakan pikiran-pikirannya. Padahal sekolah adalah tempat mengasah dan melatih kemampuan siswa itu sendiri.

Di sekolah dipelajari bagaimana mengefektifkan dan mengefesienkan pendapatan, padahal tidak semua peluang profesi setiap orang setelah selesai menempuh pendidikan adalah pegawai yang berpenghasilan tetap, ada juga orang yang berprofesi sebagai pengusaha yang justru memiliki kemampuan bagaimana mengelola uang agar bisa memperoleh lebih banyak lagi keuntungan, dengan mengindahkan efesiensi penggunaan uang tadi, artinya bahwa dunia luar sangat berbeda dengan kondisi sekolah yang dialami. Dimana kecerdasan usaha tidak diorientasikan bagi siswa yang memiliki minat dan bakat pada aspek itu, tetapi diseragamkan seolah-seolah semua siswa tersebut nantinya akan menjadi pekerja atau pegawai (negeri atau swasta).

Kehadiran sekolah diharapkan bisa membentuk manusia yang lebih sempurna berdasarkan potensi yang dimiliki, proses mengasah agar bisa menjadi manusia yang memiliki akhlak yang baik. Dimana memiliki kemampuan pengetahuan, dan keterampilan yang baik tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah terbangunnya sikap yang menjunjung tinggi akhlak mulia sehingga ilmu pengetahuan yang diperolehnya dapat diamalkannya. Dalam Al-Quran Allah melanjutkan Firman-Nya Kemudian Kami mengembalikan ke tingkat yang serendah-rendahnya, kecuali yang beriman dan beramal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”. (QS. Surah Attin (98) : 5-6).

Namun yang paling penting adalah teladan dari para tenaga pendidik, karena siswa akan meniru sikap yang mengajarnya. Selain itu komunikasi metafisik sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan, karena praktek-praktek dalam proses kegiatan yang terjadi di sekolah akan mempengaruhi kualitas pembelajaran. Misalnya guru rajin mengajar, karena ikhlas mengajar. Maka siswapun merasa ikhlas menerima pembelajaran. Jika pengelola sekolah membuat pertanggungjawaban pengelolaan sekolah yang jujur, maka akan mempengaruhi secara keseluruhan ruh pembelajaran di sekolah. Karena ada nilai yang konsisten, murid diminta membiasakan jujur dalam bertindak, dan pengelola sekolah sendiri yang mempraktekkan nilai-nilai kejujuran tersebut, begitu pula jika sebaliknya.

  • · Beragam keanehan output sekolah formal.

Di sekolah umumnya yang dianggap pintar biasanya siswa yang menguasai pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Inggris, sedangkan yang berprestasi di bidang seni budaya, olah raga, masak memasak, wirausaha dianggap bukan siswa pintar. Padahal Allah menciptakan manusia masing-masing memiliki kelebihan yang menonjol, dan tidak mungkin sama setiap siswa.

Seorang teman saya sebut saja Yunus, satu Fakultas dan Jurusan di Teknik Arsitektur profesinya sekarang sebagai manager pemasaran sebuah perusahaan perlengkapan bayi, sangat jauh dari ilmu Arsitektur. Dan ilmunya tidak diperoleh ketika duduk di bangku sekolah, tetapi merupakan bakat alami yang sangat dia senangi, namun selama ini tidak terakomodir di sekolah. Nanti setelah tamat baru tersalur di dunia kerja. Seorang teman yang lain sebut saja namanya Ina alumni Jurusan Teknik Perkapalan saat ini sedang mengajar di sebuah SMP, Sujiwo Tedjo seorang budayawan yang terkenal merupakan alumni ITB (Institute Teknologi Bandung), dan Pak Munif Chatib sendiri yang sekarang sebagai konsultan pendidikan merupakan Sarjana Hukum alumni Jurusan ilmu hukum di Fakultas Hukum universitas Brawijaya Malang Jawa Timur. Dan yang lain mungkin memiliki alasan tersendiri untuk memilih aktifitasnya yang jauh berbeda dengan latarbelakang pendidikannya.

Dulu ketika saya masih duduk di bangku SMP Muhammadiyah di kampung saya, seorang sepupu Bapak saya sangat lancar membacakan huruf lontara, tetapi jika diberi surat dari anaknya yang sementara kuliah di Makassar yang bertuliskan huruf latin dia serahkan ke saya untuk saya bacakan. Begitu pula ketika saya bertanya tentang ilmu perbintangan, dia sangat pintar menjelaskan tentang tanda-tanda musim ketika muncul formasi bintang tertentu yang sampai hari ini sayapun tidak mengerti. Dia sangat paham kapan musim hujan datang, musim kemarau,arah angin, bahkan dia bisa prediksi munculnya hama tertentu hanya dengan melihat bintang. Sungguh ilmu yang sangat luar biasa yang tidak diperoleh di bangku sekolah.

Saat ini saya baru sadar, bahwa setiap orang memiliki sebuah kelebihan dan tidak bisa disamakan dengan yang lain. Allah Yang Maha Sempurna menciptakan makhluknya pasti juga memiliki unsur-unsur kesempurnaan. Orang cacat sekalipun pasti ada kelebihannya. Sebut saja Gola Gong penulis terkenal di Indonesia yang hanya memiliki satu tangan, Thomas Alfa Edison yang menemukan listrik ternyata menderita tuna rungu, Hellen Keller yang sangat terkenal itu ternyata dia menderita tuli, buta dan bisu sejak kecil dia peraih dua medali oscar, dan yayasannya saat ini tersebar di seluruh dunia. Franklin D. Roosevel mantan Presiden Amerika pada era perang dunia II memimpin Amerika di atas kursi roda karena menderita penyakit polio, serta Bill Gates pendiri microsoft orang terkaya di dunia ini pernah mengalami disleksia. Betapa besarnya kebesaran Allah tentang makhluk ciptaannya dan bahkan kelebihannya melebihi manusia normal secara fisik.

Selain itu tentang perangkinan, atau biasa orang sebut pemberian predikat peringkat di setiap kelas maupun secara umum masih menimbulkan kontraversi di kalangan ilmuwan, praktisis dan pemerhati di bidang pendidikan. Dari hasil temuan belum ada hasil penelitian bahwa seorang anak rangkin di kelas atau di sekolah akan menjamin memperoleh pekerjaan atau nasib yang lebih baik dibanding dengan yang tidak mendapatkan rangkin sama sekali. Soalnya indikator rangkin lebih banyak menggunakan penilaian di aspek kognitif dibanding dilakukan secara konfrehensif untuk seluruh aspek. Padahal setiap manusia yang dilahirkan ke dunia ini masing-masing memiliki kelebihan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

  • · Sekolah Unggulan.

Sekolah unggulan yang dikembangkan oleh pemerintah selama ini atau oleh masyarakat melalui berbagai yayasan adalah sekolah yang mengutamakan input (the best input). Artinya siswa yang menjadi anak didiknya merupakan hasil seleksi yang ketat dari berbagai latar belakang, meskipun indikatornya masih tetap menggunakan indikator kemampuan kognitif . Sekolah unggulan tersebut biasanya dilengkapi fasilitas yang canggih seperti LCD, Laptop, AC dan sound system yang lengkap. Bahkan dilengkapi CCTV untuk memantau aktifitas pembelajaran di setiap kelas. Mereka menawarkan sebuah program unggulan yang mampu menarik minat orang tua siswa.

Namun sekolah unggulan yang diharapkan sesungguhnya adalah sekolah yang mengabaikan input, tetapi lebih mengutamakan proses. Apapun inputnya, keluarannya nanti adalah semua siswa adalah juara. Prinsip pembelajaran berbasis pada kecerdasan berbasis otak dengan memilih strategi pembelejaran yang memfungsikan otak kiri dan kanan secara seimbang. Serta melahirkan siswa yang mememili akhlak yang baik , sehingga ilmu pengetahuan yang dimiliki dapat diamalkan untuk kepentingan kemaslahatan ummat. Guru mengajar tidak lagi menjadi pusat pembelajaran, tetapi ada reposisi dari guru sebagai centre ke siswa sebagai centre. Sehingga fungsi guru lebih kepada fungsi-fungsi fasilitator, sedangkan siswa menjadi pelaku yang aktif. Dimana dalam proses pembelajaran siswa diharapkan bisa menemukan sendiri substansi pembelajaran yang diharapkan.

Suasana sekolah unggulan tersebut penuh kreasi dan inovasi dalam pembelajaran, fasilitasnya biasa-biasa saja, bahkan media pembelajaran yang digunakan tidak mutlak harus mahal, bahkan bisa menggunakan sampah sebagai media belajar. Komunikasi antar guru sangat harmonis, sehingga komunikasi metafisik guru dan siswa berlangsung dengan baik. Sekolah ini betul-betul menjadi wadah bagi para siswa menunut ilmu dengan suasana yang menyenangkan. Suasana yang mereka dambakan, sehingga lahirlah siswa-siswa yang selalu memiliki pikiran positif, karena dibentuk oleh suasana yang memilki energi positif juga.

Dengan adanya sekolah unggulan seperti ini diharapkan bisa melahirkan siswa-siswa yang memiliki ilmu pengetahuan yang maju dengan penuh kreasi dan inovasi, disertai dengan akhlak yang baik sehingga mereka mampu menerapkan ilmunya di lingkungannya demi menciptakan suasana kehidupan yang dicita-citakan bersama. Selama ini sekolah-sekolah unggulan seperti ini sudah dikembangkan oleh Prof. Jalaluddin Rakhmat melalui Yayasan Muthahari di Bandung dan Jakarta, Munif Chatib mengembangkannya melalui Sekolahnya Manusia di beberapa propinsi, DBE pengembangkan programnya lewat pengajaran dan pembelajaran bermakna khususnya level pendidikan dasar (SD/MI, SMP/MTs) di 5 Propinsi di Indonesia. Semoga ke depan akan terlahir sekolah-sekolah unggulan seperti ini di Indonesia, sehingga tidak ada lagi istilah anak bodoh, tetapi mereka lahir dan berproses berdasarkan potensinya masing-masing.

Semoga tulisan ini bisa membuka cakrawala baru kepada semua pihak khususnya bagi praktisi pendidikan, pemerhati pendidikan dan pengambil kebijakan untuk berpikir dan bertindak bersama mengevaluasi dan membangun institusi pendidikan khususnya di Indonesia dalam rangka menciptakan kualitas sumber daya manusia yang berbasis pada potensinya sebagai mahluk Tuhan.

Salam Pendidikan

Kamis, 22 Desember 2011

MASIHKAH PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA RI

  • · Antara harapan dan realitas

Di negeri kita akhir-akhir ini konflik antar kelompok sangat mudah terjadi, kita bisa saksikan di beberapa tayangan lewat media elektronik dan cetak peristiwa tawuran antar mahasiswa beda fakultas, tawuran antar kelompok pemuda antar kelurahan, perang kelompok masyarakat antar desa, perang kelompok antar organisasi, bentrok antar kelompok pengunjuk rasa dengan aparat keamanan, bentrok antar masyarakat yang mempertahankan haknya dengan pihak pengusaha seperti yang terjadi terakhir ini di Lampung dan Sumatera Selatan sampai menimbulkan korban jiwa yang sangat mengenaskan serta peristiwa demi peristiwa yang terjadi sungguh sangat memilukan hati.

Beberapa waktu yang lalu penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah karena dianggap bukan penganut Islam, disebabkan perbedaan akidah oleh kelompok Islam yang lain yang berbeda dengan paham Ahmadiyah, begitu pula penyerangan terhadap tempat –tempat ibadah kaum Nasrani yang dianggap tidak layak di suatu tempat, dan beberapa peristiwa lainnya yang masih menganggap satu kelompok lebih baik dari kelompok yang lain. Sementara dalam sila 1 Pancasila disebutkan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa, dimana dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama dan kepercayaan sesuai keyakinan masing-masing. Sementara dalam posisi ini kelompok minoritas seolah-seolah tidak mendapat perlindungan dari negara. Padahal negara tidak boleh memihak pada kelompok manapun, justru sejatinya memberikan kebebasan kepada warganya untuk melaksanakan agama dan kepercayaan yang dianutnya berdasarkan atas asas Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia yang didirikan oleh beberapa tokoh dari berbagai golongan.

Jika kita membaca dan merenungi isi Pada Sila 2 dan sila ke 3 Pancasila disebutkan bahwa “ Kemanusiaan yang adil dan beradab dan Persatuan Indonesia “. jika direnungkan maknanya sungguh sangat dalam, bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara ini dibangun di atas landasan kemanusiaan menuju suatu persatuan dan kesatuan dari berbagai latarbelakang yang berbeda. Upaya ini dilakukan oleh para pendiri bangsa ini dengan harapan kondisi bangsa Indonesia kedepan akan mencapai suatu masa yang gemilang seperti yang dicamtumkan di Pancasila tersebut sebagai dasar negara. Tetapi dalam prakteknya, sepertinya dasar negara kita tersebut sudah jauh dari realitas yang diharapkan.

Sementara itu wakil rakyat kita yang duduk mulai di senayan sampai di tingkat kabupaten yang notabene dipilih oleh rakyat dan mewakili rakyat, akhir-akhir ini juga mendapat sorotan. Terakhir kasus gaya hidup mewah (hedonis) di tengah-tengah bangsa yang dilanda krisis dimana masih banyak masyarakat miskin yang hidup di bumi yang tercinta ini dengan kondisi yang sangat memprihatinkan, tetapi perilaku sebagian anggota DPR justru tidak mencerminkan kepedulian terhadap kondisi bangsa ini. Mereka hanya mementingkan gaya hidupnya sendiri dan kepentingan golongan atau partainya, tanpa memperjuangkan masyarakat yang memilihnya, dan tidak menutup kemungkinan yang memilih mereka terdapat komunitas yang sangat miskin. Belum lagi perilaku sebagian anggota DPR tersebut yang melakukan praktek korupsi, suap menyuap untuk suatu kedudukan atau perolehan jabatan serta komptensi mendapatkan proyek. Padahal dalam sila ke 4 Pancasila disebutkan bahwa “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Yang dalam maknanya para wakil rakyat tersebut dipilih dari rakyat, oleh rakyat dan untuk memperjuangan kepentingan rakyat. Jadi posisi ini bukan untuk berlomba memperbaiki taraf hidup dengan mengatur berbagai proyek, dan sebagian nilai proyek tersebut ke kantong anggota DRP, tetapi posisi tersebut adalah pengabdian untuk kemaslahatan rakyat. Maka paradigma yang keliru ketika menjadi anggota DPR kehidupannya semakin kaya, justru harus lebih banyak mengeluarkan sebagian hartanya untuk kepentingan rakyat sebagai beban moral dari pemilihnya.

Pada pemandangan yang lain, kita biasa`menyaksikan bagaimana anak jalanan dan pengemis dikejar di jalanan dengan diperlakukan bagaikan binatang, rumah-rumah kumuh dan pedagang kaki lima digusur paksa, masyarakat miskin dibiarkan hidup dibawa kolong jembatan, panti jompo tidak dikelola secara manusiawi seperti yang pernah dipublikasikan oleh media elektronik beberapa bulan yang lalu di Kota Pare-Pare Sulawesi Selatan, serta berbagai rangkaian peristiwa yang mana pada akhirnya kaum lemah selalu menjadi korban.

Sementara itu, di sisi lain banyak orang yang kaya hasil dari praktek kejahatan sebagai pelaku korupsi (perampok uang negara) yang hidup mewah dan tidak tersentuh hukum, jika sekiranya uang hasil korupsi tersebut dikembalikan kepada negara kemudian digunakan untuk membiaya mengatasi masalah kemisikinan. Mungkin kondisi negara bisa lebih baik, masyarakat yang sebelumnya miskin bisa berubah statusnya menjadi sejahtera. Begitu pula kesenjangan antara warga yang memiliki lahan yang luasnya berpuluh-puluh hektar, sementara di sudut yang lain ada warga untuk tempat tinggal saja sangat susah, apalagi sebagai lahan sawah atau kebun mencari nafkah. Sementara di Pasal 5 dikatakan “ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sungguh sangat ironis jika merenungi dan memaknai kembali nilai-nilai pancasila ini, jika kita memotret kehidupan berbagsa kita saat ini.

  • · Konteks kekinian Negara RI dibandingkan beberapa peristiwa di negara lain.

Dari rangkaian peristiwa tersebut yang terjadi di negeri kita ini kita boleh optimis akan ada perubahan ke arah yang lebih baik, kita juga bisa pesimis bisa terjadi kehancuran. Belajar dari berbagai peristiwa yang dialami oleh beberapa negara di dunia, seperti Jepang. Dahulu kala juga pernah terjadi peristiwa demi peristiwa yang terjadi antar kelompok hingga sampai pada gerakan restorasi Meiji, dan sekarang Jepang tampil mengalami masa gemilang pasca perang dunia II khususnya setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom bardir oleh pasukan sekutu dengan bom atomnya. Amerika sendiri yang terdiri dari banyak kelompok-kelompok khususnya konflik antar warga kulit hitam dan kulit putih, sekarang presidennya sendiri adalah berasal dari komunitas kulit hitam yakni Barack H.Obama. Sedangkan negara yang hancur adalah Uni soviet yang sudah hilang dari peta dunia, padahal dahulu merupakan negara besar yang sangat disegani oleh Amerika dan sekutunya. Spanyol ketika masih berstatus sebagai Kerajaan Andalusia dibawah pengaruh Kerajaan Islam pernah mengalami masa keemasan, kemudian timbul peran kelompok akhirnya hancur, dan sekarang tinggal puing-pungnya saja masa keemasan tersebut.

Jika kita membandingkan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, maka hal tersebut peluang dua-duanya bisa terjadi. Tergantung para penghuninya menyikapi kondisi bangsa ini. Sebagai rakyat apa yang akan dilakukan, begitu pula negara dalam hal ini aparat negara yang diberikan amanah mengelola bangsa ini, kebijakan apa yang akan dilahirkan untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran. Soalnya di depan mata praktek-praktek yang sangat mengecewakan terjadi, misalnya bagaimana mengakses jaminan kesehatan bagi keluarga miskin yang sungguh sangat sulit, meskipun ada Jamkesmas, masyarakat yang hidup di dekat areal wilayah konsensi perusahaan besar baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri. Mereka tiba-tiba kehilangan tanah tempat tinggal dan mencari nafkah karena klaim perusahaan yang mendapat hak pengelolaan tanah negara. Sementara mereka sudah hidup berpuluh-puluh tahun sebelum perusahaan tersebut datang. Hal ini banyak terjadi di seluruh pelosok tanah air yang tercinta. Lagi-lagi kaum lemah selalu menjadi korban.

  • · Harapan solusi

Dari rangkaian peritiwa di atas dan sikap para pengelola negara saat ini, maka sekiranya Bung Karno, Bung Hatta, Muhammad Yamin, Sukarni, Sam Ratulangi dan para tokoh lainnya bisa hidup kembali, maka mereka pasti melakukan konfrensi pers untuk menyatakan kekecewaannya terhadap orang-orang yang diberi amanah mengelola negeri ini mulai dari tingkat Desa/Kelurahan sampai pemerintahan pusat di Jakarta. Dulu mereka berjuang melawan penjajah untuk kemerdekaan bangsa Indonesia tanpa pamrih, bahkan mereka rela mengorbankan harta dan nyawanya sekalipun, sedangkan saat ini kita sudah merdeka tetapi malah berperang sesama warga bangsa sendiri.

Ada masalah antar warga dengan pemerintah daerah, polisi atau satpol PP yang dijadikan tamen untuk berhadapan dengan warga. Sehingga yang jadi korban pasti antara polisi/satpol PP dengan warga. Ada sengketa antar warga dengan perusahaan, justru dibentuk pamswakarsa oleh perusahaan kemudian mereka disuruh berhadap-hadapan dengan warga yang juga adalah masyarakat Indonesia. Seperti kejadian baru-baru ini di Lampung dan Sumatera Selatan.

Dalam konteks Negara Republik Indonesia yang merdeka sejak tahun 1945 tepatnya tanggal 17 Agustus. Kita dihadapkan pada sebuah persoalan besar, apakah kita mampu menemukan solusi yang menimpa bangsa kita ini. Sementara dimana-mana terdapat penghianat negara, berstatus sebagai aparat negara, tetapi justru melakukan praktek korupsi demi kepentingan peribadinya dan golongannya, yang akibatnya pasti merugikan keuangan negara.

Jika kita merenungi peristiwa demi peristiwa di negeri kita ini, banyak hal yang tidak harusnya terjadi tetapi realitasnya terjadi. Berabad-abad yang lalu kita membaca kisah Gajah Mada, Sawerigading, dan terakhir pada sunan yang terkenal dengan sebutan Wali Songo yang menyebarkan Islam di Indonesia. Mereka pada zamannya mampu membangun sebuah peradaban dengan pondasi budaya yang kuat yang sudah tumbuh berabad-abad sebelumnya. Sekarang seolah-olah simbol-simbol budaya itu hanya jadi slogan dan penghias pada buku dan dinding rumah bagai penggemar kesusastraan saja.

Kita biasa membaca dan mendengar istilah gotong royong, saling menghargai,tenggang rasa, saling menghormati, mementingkan kepentingan umum diatas kepentingan golongan, tetapi seolah-olah simbol-simbol itu hanya sekedar simbol, tetapi gaunnya di negeri sudah mulai redup. Olehnya itu, perlu kita refleksi bersama cara kita menginternalisasi nilai-nilai bangsa kita selama ini. Kita lakukan upacara bendera setiap hari senin dan hari nasional, Pancasila dan UUD 1945 pasti dibacakan, setiap pejabat yang akan dilantik pasti disumpah atas nama Allah/Tuhan sesuai keyakinan masing-masing para pejabat. Tetapi rasa-rasanya, ruh dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 tersebut sudah hambar.

Untuk itu perlu kita mereorientasi cara kita menginternalisasi metode atau strategi untuk menghayati dan mengintegrasikan nilai-nilai itu ke dalam darah kita sehingga menjadi cermin perilaku sehari-hari bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang tercinta ini. Semoga Allah Swt. Meridhoi segala upaya kita untuk memperbaiki bangsa ini yang sedang dalam keadaaan salah kelola.

Senin, 19 Desember 2011

INDAHNYA SEBUAH PERBEDAAN

Tanggal 10 oktober 2011 jam 09.00 pagi waktu Makassar dalam perjalanan menuju Soppeng, sebuah kabupaten yang terletak sekitar 145 Km arah utara Kota Makassar ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan, saya menumpangi sebuah mobil kijang angkutan umum Jurusan Makassar- Sengkang. Di dalam mobil tersebut kami terdiri 7 penumpang, salah satu dari penumpang tersebut yang kebetulan duduk berdampingan di sebelah kiri saya, memulai pembicaraan tentang sistem transportasi di Kota Makassar yang mulai macet di beberapa titik, termasuk perbedaan kenyamanan mobil angkutan umum jurusan Makassar-Soppeng dengan Makassar Sengkang, dimana mobil Makassar-Sengkang lebih nyaman karena dibatasi untuk 3 orang satu kelas saja, sedangkan mobil Makassar-Soppeng sampai 4 orang satu kelas, kemudian menyoroti praktek korupsi yang merajalela di negeri ini sampai harapan besar terhadap ketua KPK yang baru Abraham Samad putra sulawesi bersama timnya untuk memberantas korupsi di negeri ini.

Sambil cerita-cerita kami saling berkenalan, menanyakan nama, profesi serta asal atau tempat tinggal. Bapak tersebut menyampaikan kalau namanya " Simatupang" saya bilang oh Bapak dari Sumut ya?, dia bilang iyya dari Binjai, saya kemudian melanjutkan, oh beberapa bulan lalu saya dari Medan dan kebutulan berkunjung ke Binjai melakukan studi banding di SMPN 1 Binjai. oh itu sekolah saya lanjut Bapak Simpatupang. Kemudian perkenalan dilanjutkan yang balik bertanya kepada saya, bapak kerja dimana?, Saya bilang kebetulan kerja untuk sebuah program pendidikan yang didanai oleh USAID bantuan dari masyarakat Amerika, wilayah program di 5 propinsi di Indonesia termasuk Sumut dan Sul-Sel. kalau Bapak, profesinya apa? Pak Simatupang menjawab :Saya kebetulan sebagai seorang pelayan rohani di sebuah gereja yang membimbing umat kristiani di Pacongkang. oh, itu kampungnya ibu Marwah Daud Ibrahim, seorang tokoh Sul-Sel yang sukses di Jakarta. Pacongkang hanya sekitar 6 Km dari kampung saya pak, saya kebetulan lahir di Lajoa, lanjut saya. Di program kami ini juga membantu sekolah-sekolah kristen pak, seperti SMP Kristen di Kota Palopo. Karena kami bekerja untuk kemanusiaan jadi tidak mengenal lagi perbedaan suku, agama dan ras. Wah bagus itu, lanjut Pak Simatupang.

Sekitar 2 jam setelah kami meninggalkan Makassar tepat pukul 11.00 kami singgah di sebuah warung makan yang bernama Jabal Rahmah terletak tidak jauh dari Bantimurung tempat wisata air yang terkenal di Kabupaten Maros untuk makan siang, kami memesan ikan bakar dan sayur kambu paria makanan khas masyarakat Sul-Sel yang banyak digemari orang, saya memesan ikan Layang yang dibakar, sedangkan Pak Simatupang memesan ikan Lamuru bakar. kami berdua satu meja makan bersama, sebelum makan Pak Simatupang berdoa sesuai ajaran kristiani dan saya pun berdoa sesuai ajaran Islam yang dipelajari sejak TK Aisyiah dulu.

Setelah selesai makan siang, kamipun bergegas meninggalkan warung makan, namun sebelumnya Pak Simatupang minta izin sama saya untuk membayarkan makan siang saya. Saya pun dengan berat hati mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati Pak Simatupang membayarkan makan siang saya. Kemudian saya naik ke mobil mendahului Pak Simatupang, Seseorang yang duduk di samping kanan saya menanyakan tentang Pak Simaptupang, Bapak itu pendeta ya? saya bilang iyya pak. oh di Soppeng masih banyak umat Kristiani? saya bilang iyya pak, ada tiga kampung pusat Kristen di Soppeng, yakni Kota Watansoppeng, Woddi Kecamatan Marioriwawo dan Pacongkang Kecamatan Liliriaja tempat Pak Simatupang sebagai pelayan rohani.

Kemudian Pak Simatupangpun menyusul naik mobil, disusul dengan penumpang lainnya. kemudian pak sopirpun menancap gas untuk melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan kamipun melanjutkan perbincangan dengan Pak Simatupang, sambil menanyakan pendeta pendahulunya yaitu Pendeta Haddade yang sangat terkenal di Soppeng, Pak Simatupang memaparkan kalau Pak Pendeta Haddade baru-baru ini meninggal dan beberapa hari ini kuburannya sudah ditembok. Saya sendiri baru 3 bulan bertugas di Soppeng sebelumnya juga biasa di Malino yang memang khusus melayani umat Kristiani di Sulawesi Selatan, lanjut Pak Simatupang.

Lalu saya kemudian mencoba meminta pandangan Pak Pendeta Simatupang tentang konflik antar kelompok yang berkaitan dengan issu SARA (suku, agama dan ras) selama ini di Indonesia. Menurut Pak simatupang, bahwa orang keliru mempersoalkan hal itu, toh juga kalau meninggal kelak kita akan dipertanggungjwabkan masing-masing di depan Tuhan yang kita yakini. dalam hati kecil saya betul juga paparan Pak Simatuang.

Saya lanjut bertanya; sudah berapa lama Bapak menggeluti tugas sebagai pelayan rohani, beliau menjawab saya meninggalkan tugas saya sebagai polisi tahun 1992 memutuskan untuk menjadi pelayan rohani. Wah itu keputusan luar biasa pak, mengapa Bapak memutuskan untuk menjadi pelayan rohani padahal pekerjaan sebagai polisi sangat menjanjikan?. Pak Simatupang melanjutkan kisahnya, bahwa beliau pangkat terakhir Letnan 1 kemudian minta pensiun dini dan memutuskan untuk fokus sebagai pelayan ummat. Saya mencoba memancing, apa Bapak keluar karena banyak praktek-praktek yang kurang baik di tubuh kepolisian?. Biasanya orang baik atau orang jujur yang tidak senang terhadap sebuah system dimana dia bekerja lebih memilih mengundurkan diri daripada memberontak. Pak Simatupang hanya tersenyum saja, tidak menjawab pertanyaan saya. Beliau hanya mempertegas bahwa yang menjadi panglima sekarang di pucuk pimpinan kepolisian dan TNI adalah umumnya lettingnya tahun 1978. kebetulan di Akademi Kepolisian dulu kita dididik 4 tahun, dan 1 tahun terakhir semua angkatan digabung. jadi dari kepolisian, angkatan darat, angkatan laut dan angkata udara semua dipertemukan dalam satu tempat. Sehingga kita satu angkatan bisa saling mengenal dan akrab, lanjut Pak Simatupang.

Saya kemudian kembali meminta pandangannya terhadap konflik SARA selama ini, beliau memulai cerita dengan menggambarkan situasi keluarganya. bahwa dia 4 bersaudara, kakaknya yang tertua menikah dengan orang melayu sehingga masuk Islam dan sudah menunaikan ibadah haji sebelum meninggal, sehingga bergelar hajjah. Sehingga kata Pak Simatupang, kalau ke Medan saya ziarah ke kuburan orang tua dan kakak saya meskipun berlainan agama. Begitu pula di Pacongkan itu ada sebuah keluarga yang dalam satu rumah terdapat dua agama, suaminya muslim sedangkan istrinya beragama Kristen bahkan dia pengurus gereja namanya Ibu Bahriah, sehingga jika hari Natal kami datang berkunjung ke rumahnya, begitu pula saat lebaran. Pak Simatupang kemudian menegaskan bahwa seharusnya konflik itu tidak ada, justru kita harus bersyukur adanya perbedaan itu kita bisa saling kenal mengenal.

Di Makassar, pak Simaptupang biasa bersama dengan Prof. Qasim Mathar membahas hal-hal yang berbau konflik antar kelompok. Mereka saling ketemu di acara Forum antar umat beragama. Dia sangat mengagumi Prof. Qasim. bagaimana Prof. Qasim jika terjadi konflik antar kelompok atau antar agama, dia yang sangat gelisah. Eksperesi tokoh seperti Pak Qasim sangat dibutuhkan di tengah-tengah gerakan perubahan untuk membangun nilai-nilai pluralisme, ketika konflik antara Ahmadiyah dan FPI, Prof. Qasimlah yang sibuk memberi pencerahan. Bagaimana memberikan pemahaman kepada umat tentang sebuah nilai keyakinan setiap orang.

Mendengar komentar Pak Simatupang tadi saya teringat sebuah ayat dalam Al-Quran yang artinya bahwa " Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling kenal mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha teliti. ( QS. Al-Hujurat ((49): 13).

Kemudian pada ayat yang lain dikatakan " Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepada kamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS. Al-Maidah (5):48). Di ayat yang lain juga ditegaskan bahwa " Manusia adalah umat yang satu, lalu Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, dan menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan." ( QS.Al-baqarah (2): 213).

Sungguh sebuah keindahan jika manusia di dunia ini bisa saling memahami satu di antara yang lain, baik kelompok-kelompok di internal kelompok agama atau suku, maupun antara agama, suku dengan yang lainnya. Toh di akhirat nanti merupakan otoritas Allah Swt yang mengetahui siapa yang paling bertaqwa di antara kita. Tidak ada lagi kesempatan untuk memberi sogokan, karena Allah-lah sebagai hakim tertinggi, yang menentukan vonis bagi manusia.

Keindahan sebuah perbedaan, jika kita bisa saling bekerjasama sebagai makhluk sosial. lihat saja masyarakat Sulawesi Utara, Toraja, Sumatera Utara, mereka berasal dari agama yang berbeda, tetapi mereka saling rukun. Kisah bersama dengan Pak Simatupang tadi memberi inspirasi dan pelajaran yang sangat bermakna tentang sebuah perbedaan, jika dikelola dengan baik bisa menjadi sebuah kekuatan besar sebagai bangsa.

Jumat, 16 Desember 2011

PERPUSTAKAAN DESA

Ayat Al-Quran yang pertama turun adalah Iqra bismi rabbika ladzi khalaq (al-Alaq:1), yang artinya bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. perintah pertama bagi anak keturunan Adam dan Hawa ini adalah membaca. membaca dalam arti yang luas agar bisa lebih memahami bukti kekuasaan dan kemahakuasaan sang pencipta.

Kekuatan membaca sudah diakui oleh beberapa ahli, bahkan terakhir ini Andy F. Noya mengakui bahwa membaca dapat mengubah kualitas hidup seseorang. bercermin dari pengalaman hidupnya yang berasal dari keluarga miskin, dan sekarang sukses meniti karir dalam bidang jurnalistik.

Bahkan akibat dari kekuatan membaca itu sendiri dapat mengubah dunia, para ilmuan dunia yang terkenal seperti Albert Einstein, Newton, Archimides, Ibnu zina, Ibnu Taimiyah, Ibnu Arabi, Ali Syariati, Mullah Shadra, Quraish Shihab, Baharuddin Yusuf Habibi dan masih banyak yang lainnya sungguh karyanya memberi inspirasi dan manfaat bagi mahluk di atas bumi ini. dan sudah dirasakan betapa hebatanya hasil karya mereka, ini bukti dari hasil sebuah kebiasaan membaca.

Untuk itu gagasan mengenai perpustakaan Desa, dengan harapan bisa lebih mendekatkan rakyat dengan buku sudah tidak boleh ditunda lagi. dengan buku, masyarakat desa bisa menambah wawasannya untuk memperbaiki kualitas hidupnya, mereka bisa membandingkan kesuksesan masyarakat di belahan bumi lain lewat membaca, baik sumbernya buku, majalah atau internet yang sudah mulai masuk desa.

banyak sekali sumber atau literatur yang dibutuhkan oleh masyarakat di desa, cuma selama ini mereka tidak mampu mengakses informasi. karena pemerintah tidak cukup menyiapkan infra struktur itu sampai ke desa. perpustakaan biasanya hanya di tingkat kabupaten, itupun hanya sebatas orang-orang tertentu yang bisa mengaksesnya.

Persoalan-persoalan yang sering muncul di desa, misalnya tentang pendidikan politik warga yang masih kurang, keterbatasan pengetahuan tentang pemasaran hasil-hasil produksi pertanian, perkebunan atau empang dan laut dapat dipecahkan melalui pengelolaan perpustakaan desa yang berbasis masyarakat.

kita banyak sumber bacaan, hanya selama ini belum terdistribusi sampai ke pelosok desa. begitu pula budaya membaca masyarakat kita masih kurang, oleh karenanya melalui wadah ini pula dapat membiasakan masyarakat kita untuk selalu membaca. kita berharap semoga perpustakaan desa mendapat dukungan oleh banyak pihak agar wajah bangsa kita ke depan bisa lebih baik lagi.

Ingat, membaca dapat mengubah kualitas hidup, salam untuk gerakan perubahan ke arah yang lebih baik.